Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng,
sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung, Banten. Kawasan Baduy tepatnya
berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan
akhir abad ke - 18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar
sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini
sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke -
20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy
sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut
menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka
dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah
- pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi
Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu
dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”. Mereka
tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa
ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau
sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy.
Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik,
Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung
lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping,
yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam
melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (
tanah dan air ), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat
lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga
Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat
yang ketat.
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga
mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan,
orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan
yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang
dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka.
Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih
berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka
tidak punya uang, tetapi benar - benar demi mengikuti kebiasaan orang tua
mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba - coba memakai sabun saat mandi dan
sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada
pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Asal - usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam
dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (
mandita ) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh
nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa.
Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi,
konsep - konsep dan kegiatan - kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan
adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan
dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari 'pikukuh'
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun",
atau perubahan sesedikit mungkin.
Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing - masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat - obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.
Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing - masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat - obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.